25 Juli 2011

Megengan dan Punggahan

Ziarah

Kilas Sumberayu- Megengan adalah salah satu tradisi masyarakat Jawa menyambut bulan suci Ramadan. Tradisi ini sering pula disebut sebagai ritual mapag. Maksudnya, menjemput awal bulan puasa

Megengan berasal dari kata Megeng yang bahasa Indonesianya Menahan, dan terkandung maksud menahan diri dari sekarang untuk menyabut datangnya bulan puasa

Puasa dalam bahasa jawanya PASA, ‘ngeposne rasa’ dengan maksud mengistirahatkan perasaan entah itu perasaan senang, marah, benci, atau apapun itu jenis perasaan, agar jangan sampai nantinya keetika menjalani puasa hanya menikmati menahan lapar dan dahaga saja padahal yang paling penting adalah puasa perasaannya, karena jika perasaannya berpuasa maka kerja fikiran lebih logis lebih bisa berfikir sesuai dengan kenyataan, dan kesehatan akan pasti ikut terjaga

Ada tiga kegiatan yang biasa dilaksanakan, yaitu mandi keramas yang bermaksud untuk mensucikan diri dalam menghadapi datangnya bulan suci Ramadhan, setelah itu berjiarah ke makam leluhur, yang dikandung maksud untuk mendoakan, memohonkan ampun kepada Tuhan Yang Maha Esa atas dosa mereka atau memngingatkan pada diri sendiri bahwa lewat merekalah kita ada di dunia ini, kemudian berdoa bersama dengan membagikan kue apem, kue apem sebenarnya adalah ungkapan dari rasa permintaan maaf secara tidak langsung kepada para tetangga kita, apem asal katanya adalaha afwum yang artinya meminta maaf, yang maksudnya untuk saling memaafkan dan mohon ampunan kepada Tuhan SWT

Setelah melaksanakan ritual Megengan maka biasanya melakukan Punggahan. Punggahan berasal dari kata Unggah artinya naik, yang maksudnya berdoa dan bersukur mulai naik masuk ke bulan suci Ramadhan. Maka Punggahan merupakan ungkapan rasa syukur dan bahagia manusia jawa dalam menyambut datangnya bulan Ramadhan. Kalaupun dalam prakteknya terdapat kesalahartian makna, tersebut merupakan relativitas yang lumrah terjadi dalam masyarakat. Bukan saja terjadi dalam penaksiran budaya luhur, melainkan hukum agama maupun negara.

Tradisi ini dipekenalakan pada saat penyebaran agama islam dijawa (terutama jawa timur dan tengah bagian selatan) oleh Sunan Kalijaga. Seperti yang kita ketahui beliau berdakwah pada masyarakat jawa pedalaman dengan metode alkuturasi budaya. Kanjeng Sunan mengunakan metode pendekatan psikologi budaya kepada masyarakat jawa pedalaman sehingga menghapus sekat-sekat / pembatas yang dapat menganggu syiar islam.

Masyarakat Jawa memiliki ikatan tradisi yang sangat kuat dan unggah-ungguh mereka sangat dijaga terhadap orang yang lebih tua dan pemuka masyarakat terutama agama,. Prinsip utama yang dianut kanjeng sunan dalam mengalkuturasi budaya jawa dengan muatan nilai-nilai keislaman adalah sabda Rosul Muhammad SAW bahwa agama itu mudah maka mudahkanlah jangan dipersulit (dibikin sulit) dalam pelaksanaannya. Kanjeng Sunan ingin mengajarkan pada masyarakat tentang nilai-nilai islam termasuk melaksanakan sabda Rosul Muhammad SAW lewat budaya (adat) yang ada ditengah masyarakat.

Namun sayang proses sejarah tersebut kini ditafsir secara singkat oleh beberapa masyarakat atau kalangan tertentu sebagai hal yang kurang tepat, atau katakanlah Bid’ah misalnya. Benarkah demikian?

Bid’ah sendiri maksudnya ajaran dan kegiatan yang tika ada pada jaman Rosulullah, jika makna itu yang tertanam dalam pemikiran kebanyakan orang, maka ketika pembaca sedang membaca tulisan inipun sudah termasuk melakukan kegiatan Bid’ah, karena pada jama Rosulullah tidak ada internet atau komputer.

Dan yang pasti, jika anda seorang jawa atau sebagai bangsa yang berbudaya, sejauh mana anda kini menghargai dan menjaga budaya luhur negeri ini?


Artikel Terkait

Home