Kilas Sumberayu- Ompak Songo adalah tumpukan batu berlubang mirip penyangga tiang bangunan yang berjumlah sembilan. Situs ini ditemukan pertama kali tahun 1916 oleh Mbah Nadi Gede, warga dari Bantul, Yogyakarta. Pertama ditemukan kondisinya sudah tertimbun tanah dan hutan belantara. Begitu digali, ternyata mirip sebuah candi. Diyakini, Ompak Songo dahulunya adalah balai pertemuan bagi raja Blambangan bersama bawahannya.
Situs Ompak Songo yang berada di Dusun Krajan Desa Tembokrejo Kecamatan Muncar, Banyuwangi ini merupakan reruntuhan bangunan utama Kerajaan Blambangan.
Reruntuhan itu berupa pondasi batu besar berlubang dan tersusun berjajar membentuk sebuah pondasi bangunan. Fungsinya sebagai penopang tiang penyangga bangunan itu sendiri.
Letak batu-batu itu hingga kini masih tertata rapi. Hingga tahun 1916 silam, seorang pendatang asal Bantul, Yogyakarta bernama Mbah Nadi Gede menemukannya pertama kali.
Nama Ompak Songo diberikan Raja Mangkubumi XI atau 12 tahun setelah situs itu ditemukan. Raja Mangkubumi XI pula yang memastikan jika reruntuhan itu merupakan bekas kompleks kerajaan Blambangan yang hancur karena perang Saudara.
Awal November 2008 lalu Pemerintah Kabupaten Banyuwangi membentengi situs tersebut. Dengan membangun pagar keliling untuk menghindari pengrusakan orang-orang yang tak bertanggung jawab.
Situs Ompak Songo memiliki makna tersendiri bagi dua umat beragama di Banyuwungi. Yakni, umat Islam dan Hindu. Hal itu disebabkan perjalanan sejarah Kerajaan Blambangan tak lepas dari dua pengaruh Agama tersebut.
Di masa itu Agama Hindu menjadi agama mayoritas. Namun di Kerajaan Blambangan pernah tinggal seorang Wali Allah, Syekh Maulana Ishaq bersama istrinya, Putri Sekardadu, seorang Putri Kerajaan Blambangan. Putri Sekardadu ibu kandung dari Raden Paku atau lebih dikenal sebagai Sunan Giri.
Karena keeratan agama itu, di hari-hari tertentu seperti hari besar Agama Islam atau Hindu banyak orang yang datang ke sisa-sisa kejayaan Kerajaan Blambangan ini. Tujuannya berbagai macam seperti nyekar, ngalab berkah atau semedi.
Menurut juru kunci Ompak Songo Mbah Soiman, biasanya mereka datang dari pelosok daerah di Jawa Timur dan Bali.
"Mereka datang dari berbagai kota. Ya..tidak jadi masalah, sebabnya masing-masing pengunjung, Islam atau Hindu mempunyai rasa memiliki pada situs ini," jelas pria generasi ke-3 dari Mbah Nadi Gede.
Kakek dari 5 cucu ini juga menjelaskan, situs sejarah yang dijaganya secara turun temurun ini lebih ramai di hari Sabtu Pahing. Sebab, banyak orang yang menyakini jika saat itu sebagai hari yang pas untuk mendekatkan diri pada Yang Maha Kuasa.