Kilas Sumberayu- Dikisahkan, konon, sekitar tahun 1767, ketika pasukan kompeni yang dibackup prajurit Mataram dan Madura, menyerang dan meluluhlantahkan Belambangan yang dipimpin Mangwi. Perang ini disebut Perang Bayu yang sadis, keji dan brutal dan hanya menyisahkan sekitar lima ribu prajurit Belambangan dan beberapa penduduk. Para wanita ditawan, sebagai jarahan perang. Dengan berakhirnya Perang Bayu pada 11 Oktober 1772, para prajurit dan penduduknya pergi mengungsi dan tercerai-berai di hutan, gunung dan daerah-daerah lain.
Selanjutnya, para prajurit yang cerai-berai itu, berusaha mengumpulkan seluruh kawan-kawan seperjuangannya, dan menahbiskan diri sebagai Gandrung Marsan atau penari laki-laki. Mereka menggelar pertunjukan dari kampung ke kampung. Usai pertunjukan, mereka imbalan berupa beras atau hasil bumi lainnya, yang kemudina dibagi-bagikan kepada pengungsi yang memerlukan bantuan, baik mereka yang mengungsi di pedesaan, di pedalaman, atau yang bertahan hidup di hutan-hutan dengan segala penderitaannya pasca-Perang Bayu.
Lahirnya kesenian yang dijadikan sebagai alat perjuangan menyelamatkan sisa-sisa rakyat yang telah dibantai habis-habisan dan membangun kembali Bumi Belambangan sebelah timur yang telah porak-poranda oleh Kompeni itu. Kemunculan Gandrung Marsan mulai populer atau mencapai masa keemasan pada masa pemerintahan bupati kelima Banyuwangi, yaitu Bupati Pringgokusumo di Tahun 1867. Kemudian, pada perkembangannya, Tari Gandrung tidak hanya dimaikan kaum lelaki, tapi juga wanita. Gandrung wanita pertama adalah Semi, seorang anak kecil yang pada waktu itu, sekitar Tahun 1895, masih berusia sepuluh tahun.
Menurut cerita yang dipercaya masyarakat sekitar, waktu itu Semi menderita penyakit yang cukup parah. Segala cara sudah dilakukan hingga ke dukun, namun Semi tak juga kunjung sembuh. Sehingga ibu Semi, yang bernama Mak Midhah bernazar: "Kadhung sira waras, sun dhadekaken Seblang, kadhung sing yo sing (Kalau kamu sembuh, aku jadikan Seblang, kalau tidak ya tidak jadi)." Akhirnya Semi sembuh dan dijadikan Seblang sekaligus memulai babak baru sejarah Gandrung, yang kali pertama dimainkan kaum hawa. Tarian Seblang ala Semi ini, kemudian diikuti oleh adik-adik perempuannya. Kesenian ini kemudian terus berkembang di seantero Banyuwangi dan menjadi ikon khas setempat.
Pada mulanya Gandrung hanya boleh ditarikan oleh para keturunan penari sebelumnya, namun sejak tahun 1970-an mulai banyak gadis-gadis muda yang bukan keturunan Gandrung mempelajari tarian ini dan menjadikannya sebagai sumber mata pencaharian di samping mempertahankan eksistensinya yang makin terdesak sejak akhir abad ke-20. Tari Gandrung sendiri, terbagi tiga bagian, yaitu Jejer, Maju atau Ngibing dan Seblang Subuh atau permohonan ampun kepada Tuhan.
Dan di masa kepemimpinan Abdullah Azwar Anas, tarian ini dijadikan salah satu destinasi budaya di Banyuwangi, yang mampu menyedot minat wisatawan mancanegara. Dan secara berturut-turut selama tiga tahun terakhir ini, Festuval Tari Gandrung Sewu turut menghiasi rangkaian HUT Kota Banyuwangi, yang jatuh pada 18 Desember. (dari berbagai sumber)