Panglima Besar sekaligus pemimpin politik di era Majapahit. Siapa lagi kalau bukan Mahapatih Gajah Mada yang tersohor itu. Tiga buku karangan Langit Kresna Hariadi (LKH) mampu menggambarkan sosok bertubuh gempal itu dengan nyaris sempurna.
Perjalanan sejarah berlangsung sangat panjang dan tak diketahui di mana ujungnya. Ada dua wangsa yang tercatat dan keberadaan mereka ditandai dengan megah dalam wujud candi Borobudur di arah barat Gunung Merapi dan candi Jonggrang di Prambanan di arah selatan gunung itu pula. Garis keturunan Syailendra dan garis keturunan Sanjaya silih berganti menyelenggarakan pemerintahan. Agama Hindu dan Buddha marak mewarnai kehidupan segenap rakyatnya. Hukum ditegakkan, negara dalam keadaan gemah ripah loh jinawi.
Dari prasasti Balitung ditulis bahwa Medang Ri Pohpitu atau Medang di Pohpitu, Raja Mataram yang pertama adalah Sanjaya, disusul oleh Panangkaran, Panunggalan, Warak, Garung, Pikatan, Kayuwangi, Watu Humalang, dan Balitung. Pada prasasti Canggal tertulis bahwa pada tahun Saka yang telah lalu dengan ditandai angka Caka Cruti Indria Rasa, pada hari Senin, hari baik, tanggal tiga belas bagian terang bulan Kartika, sang Raja Sanjaya mendirikan lingga yang ditandai dengan tanda-tanda di bukit yang bernama Stirangga untuk keselamatan rakyat.
Perjalanan waktu mengubah segalanya. Pemerintahan di tanah Jawa Dwipa bergeser ke arah timur, ada Isyana yang meninggalkan jejak amat jelas bersamaan dengan Warmadewa di Bali dan Sriwijaya di Sumatra. Sejak berkuasanya Sindok, Jawa bagian timur menggantikan Jawa wilayah tengah di atas panggung sejarah. Empu Sindok dan keturunannya banyak meninggalkan prasasti, berturut-turut sampai pada garis keturunan berikutnya, SriDharmawangsaTeguh Anantawikramatunggadewa, yang memerintah dengan aman dan damai negara Medang Kamulan.
Manakala Sri Dharmawangsa pralaya, Airlangga berhasil meloloskan diri serta membangun kembali reruntuhan pemerintahan. Tahun 1019, atau dalam sengkalan Gatra Candra Maletik Ing Sasadara, oleh para pendeta Buddha, Siwa, dan Hindu, Airlangga dinobatkan menjadi raja menggantikan Dharmawangsa. Pemerintahan Airlangga benar-benar memberikan air kehidupan bagi segenap rakyatnya. Namun, sebuah kekeliruan telah dilakukan oleh Airlangga yang mengesampingkan persatuan dan kesatuan dengan membelah kerajaan menjadi dua. Sri Sanggramawijaya, sang pewaris takhta yang ternyata tidak bersedia dinobatkan menjadi raja, mendorong Airlangga untuk bertindak adil atas dua anaknya yang lain. Kahuripan dibelah menjadi Jenggala yang beribu kota di Kahuripan dan Panjalu yang beribu kota di Daha. Sebagaimana terlihat dari jejak-jejaknya, Jenggala tidak mampu berkembang menjadi negara yang besar. Jenggala lenyap dari percaturan sejarah, sebaliknya Panjalu atau Kediri masih meninggalkan jejak kemegahannya.
Berturut-turut Sri Jayawarsa Digdaya Castraprabu, dilanjutkan oleh Sri Kameswara yang bergelar Sri Maharaja Rake Sirikan Sri Kameswara Sakalabhuawanatustikirana Sarwaniwaryawirya Parakramadigdayotunggadewa, menggunakan lencana kerajaan berupa Candrakapala berwujud tengkorak dengan taring.
Jika ingin membaca ketiga e-bukunya silahkan klik di bawah ini
e-Buku ini juga bisa dibaca lewat HP dan kerena filenya .prc dan bukan .pdf, silahkan download alat untuk membacanya DI SINI, (untuk HP dan PC/laptop) dan untuk android silahkan masuk market (google plystore) pilih epubReader